Senin, 16 Agustus 2010

Ia merindukanmu....


Masih kuingat kebersamaan kita dulu. Saat itu, kau adalah seorang bocah kecil yang lugu. Namun, persahabatan itu telah terjalin dengan sangat erat antara kita. Kita mulai dengan kebersamaan di suatu tempat sederhana dengan teman-teman yang lain. Tempat itu kemudian kita sebut, masjid dekat rumahmu.

Saat senja datang, kau tentu sudah bersiap-siap di rumahmu. Mandi sore dibantu oleh ibu atau kakakmu. Bersiap-siap rapi dengan balutan islami itu. Sesekali ibu memoleskan bedak di pipimu, menambah ceria wajah lugumu. Selanjutnya, dengan langkah penuh dengan semangat, kau membawaku bersama dengan langkahmu. Celotehan-celotehan penuh ceria dengan teman-teman sebayamu ikut bersama tiap langkah-langkah itu.

Dan saat kita telah tiba di masjid itu, dengan semangat terkadang kau berlari menuju ustadzah, mencium tangannya dengan takzim, karena hari ini kau bahagia bisa kembali menjalakan aktivitas suci itu.

Kaupun segera tunaikan shalat maghrib bersama kawan-kawanmu saat adzan selesai dikumandangkan dengan indah oleh sang muadzin. Mengalun-alun dalam kepalamu dan membuatmu merasa nyaman dengan semua itu. Meski kadang shalat kau jalani dengan sesekali bercanda dengan kawan di sebelah shaf-mu. Namun, itupun karena kau belum paham betapa sakralnya ibadah itu. Tapi toh, tak pernah pula kau bermaksud meninggalkannya.

Dan waktu ba’da maghrib itulah favoritku. Saat kau mengambilku dengan lembut. Membuka tiap helaiku penuh senyuman. Lalu ayat-ayat dengan cadel namun penuh dengan semangat. Tak peduli begitu banyak kesalahan ucapan yang kau lakukan, namun kau terus berusaha untuk mengucapkannya dengan kemampuanmu yang terbaik...

Ah kawan, betapa indahnya masa-masa itu bagiku....

Dan kaupun makin beranjak dewasa. Turut pula kusaksikan betapa cepat waktu berlalu dan kudapati kau kini bukan lagi seorang anak kecil yang dulu begitu akrab denganku. Segala kesibukanmu di sekolah telah membuatmu tak lagi ada kesempatan untuk mengunjungi masjid dekat rumahmu itu. Mungkin, usia yang juga telah beranjak terus membuatmu merasa tak lagi cocok dengan keadaanmu yang dulu itu. Tapi tak masalah kawan, jika tetap kau baca ayat-ayat cinta itu meski hanya di rumahmu saja.

Tapi ternyata, kudapati diriku kini berdebu. Kudapati diriku hanya teronggok kesepian di sudut rak buku atau meja belajarmu. Kini kau sibuk berkutat dengan buku-buku pelajaranmu yang tebal-tebal itu. Kau begitu bangganya menenteng buku-buku ilmiah itu jika engkau pergi kemanapun. Tapi entah mengapa, kau begitu enggan menentengku seperti itu, takut dibilang sok alim, katamu.

Dan saat kau senggangpun, aku seolah bersaing dengan novel-novel fiksi atau majalah remaja yang kau gemari, atau bersaing dengan TV yang seolah tak pernah tertidur, atau dengan alunan musik yang dapat kau hapal dalam sekejap. Hingga kau lupa dengan kebersamaan kita dulu. Kau tak lagi mengenalku, mungkin akan sangat terbata jika kembali membacaku. Namun kau seolah tak peduli, mungkin terasa tak penting bagimu. Kau tak lagi mengenalku.



Kau tak lagi mengenalku.

Kawan,
Mengapa begitu mudah kau lupa akan kebersamaan itu dulu. Saat begitu sulit sebenarnya bagimu untuk membacaku karena keterbatasan ilmu dan otak yang kau miliki. Tapi kau tetap berusaha, khan? Kau membuatku yakin, bahwa suatu saat kau bahkan bisa menghapal seluruh ayat-ayat itu jika kau tetap dengan semangat yang dulu. Kau membuatku menyimpan harap, begitu cerahnya hatimu karena cahaya yang memancar lewat apa yang senantiasa kau pelajari.

Kawan,
Mungkin kau merasa tak seakrab yang dulu lagi denganku. Tapi aku tetap akan menanti tanganmu yang meraihku untuk kembali kau buka. Kau sela debu-debu yang menempel padaku dengan telapak tangan dan dengan hatimu. Untuk kau renungi kembali betapa beruntungnya kau dulu, dan betapa keberuntungan itu dapat kembali kau raih jika kau ingin membuka dirimu untuk mempelajari agama ini.

Kawan,
Aku masih meringkuk di sudut kamarmu dengan berdebu. Inilah diriku dengan lautan ilmu dan hikmah tak berbatas. Masih kutunggu jemarimu untuk meraihku. Kutunggu lisanmu untuk melantunkan kembali ayat-ayat itu. Dan hatimu untuk menyelami samudra luas cintaNya yang tak berbatas.

“Sesungguhnya orang-orang yang adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya kepada mereka, betambah (kuat) imannya, dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakkal.”
(QS. Al Anfal[8]:2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar